SUMEDANG – Suasana penuh suka cita menyelimuti Lapangan Pesantren Alif Laam Miim Daal Ro, di kawasan hutan pinggiran Cimuncang- Surian, Kabupaten Sumedang, Sabtu (29/6/2025).
Ratusan warga—mulai dari anak-anak hingga para sepuh—berkumpul merayakan Tahun Baru Islam 1 Muharram 1447 H dalam tradisi Grebeg Suro yang sarat makna dan kearifan lokal.
Warga beriringan mengarak Gunungan Hasil Bumi, yang didominasi pisang dari kebun sendiri, dari ujung kampung menuju area pesantren. Diiringi lantunan sholawat dan doa bersama, gunungan tersebut didoakan, lalu diperebutkan secara simbolik oleh warga sebagai bentuk ngalap berkah.
Acara ini ditutup dengan makan bersama bubur suro, sajian khas yang dibuat dari tujuh macam biji-bijian.
“Ini tradisi luar biasa. Wujud gotong royong, syukur, dan cinta warga pada budaya. Kami bangga,” ujar Kepala Desa Surian, Karto Ganda Permana, yang hadir bersama Ketua BPD.
Menurut pengasuh pesantren yang biasa disebut Pesantren Hutan Cimuncang, KH Sutrisno Lamin, tradisi ini bukan sekadar seremoni, tapi rangkaian tiga acara yang menggambarkan refleksi spiritual yang menyambungkan tiga dimensi waktu.
“Ziarah ke makam leluhur untuk mengingat masa lalu, hajat uar sebagai ikhtiar menolak bala di masa depan, dan makan bubur suro sebagai ungkapan syukur atas keselamatan hari ini. Sama seperti kisah Nabi Nuh yang memasak tujuh biji-bijian setelah selamat dari banjir besar.”
Lebih dari itu, Gunungan Hasil Bumi yang dibawa warga ke pesantren bukan sekadar simbol panen, tapi bentuk penyerahan amanah: masyarakat menitipkan adat, budaya, dan nilai moral kepada pesantren agar dijaga dan diwariskan, tambah Pimpinan Ponpes dengan santun.
“Pesantren jadi tempat pengayom. Lembaga penjaga nilai. Gunungan itu simbol kepercayaan,” tutur Kepala Dusun, Rohim Gumilar, diamini para tokoh adat dan kasepuhan setempat.
Dari sebuah dusun kecil di ujung hutan Cimuncang-Surian, dengan segala keterbatasan infrastruktur, terpancar pesan kuat: bahwa sinergi antara adat, budaya, agama, dan moral dapat menjadi penjaga peradaban. Dan di tengahnya, berdirilah pesantren sebagai garda penggerak sekaligus penjaga nilai-nilai kemanusiaan yang hakiki.
( Edy ms).