Warga Mengeluh Harus Beli LKS dan Seragam Senilai Ratusan Ribu, Kepala SMP Negeri 2 Singaparna Akan Lakukan Pemberhentian

Agus Sulanto
0

TASIKMALAYA MA - Menjelang tahun ajaran baru, sejumlah orangtua siswa SMP Negeri 2 Singaparna menyampaikan keluhan terkait kewajiban membeli buku Lembar Kerja Siswa (LKS) dan seragam sekolah. Mereka menilai kebijakan tersebut memberatkan secara ekonomi dan tidak disertai penjelasan yang transparan dari pihak sekolah.

Keluhan ini mencuat setelah beberapa wali murid merasa pembelian LKS dan seragam seolah menjadi syarat mutlak bagi siswa untuk mengikuti kegiatan belajar mengajar. Bahkan, ada yang menyebut adanya tekanan sosial dari paguyuban siswa untuk mengikuti pembelian kolektif, tanpa mempertimbangkan kondisi ekonomi masing-masing keluarga.

“Kami merasa seperti dipaksa membeli buku dan seragam tanpa tahu apakah itu benar-benar wajib atau tidak. Padahal kondisi ekonomi setiap keluarga berbeda. Bukannya kaya Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi juga nggak dibolehkan lagi ada sekolah yang jual buku LKS. Ini kok dari paguyuban menjual buku LKS seharga Rp 120.000,- sebanyak lima buku ditambah seragam sekolah Rp 835.000,- . Dan katanya harus dilunasi segera, kalau belum lunas tidak akan dikasih buku LKS dan seragam tersebut”, ungkap beberapa orangtua siswa yang enggan disebutkan namanya saat dikonfirmasi oleh awak media, Selasa (12/8/2025).

Menanggapi hal tersebut, Kepala SMPN 2 Singaparna, Ceceng Kosasih mengatakan jika pihaknya mengetahui adanya hal tersebut, namun dirinya mengaku tidak pernah mengintruksikan kepada seluruh dewan guru ataupun pihak lainnya untuk mewajibkan membeli buku LKS kepada orang para siswa kecuali jika ada siswa yang mau membelinya. Ceceng pun mengatakan akan segera mengambil langkah tegas dengan memastikan bahwa penjualan buku LKS tidak akan lagi dilakukan di lingkungan sekolah. Ia juga menyatakan akan segera melakukan evaluasi menyeluruh terhadap struktur paguyuban siswa, komite sekolah, dan dewan guru.

“Memang saya mengetahui adanya buku LKS itu, tapi saya tidak pernah memerintahkan kepada dewan guru ataupun komite dan pihak lainnya untuk mewajibkan kepada seluruh orangtua siswa agar membelinya, kecuali kalau ada siswa yang mau membelinya. Oleh karena itu, dengan adanya keluhan dari orangtua siswa yang merasa ada penekanan atau diharuskan membeli buku LKS dan seragam dari oknum duru ataupun paguyuban, saya pastikan tidak akan ada lagi penjualan buku LKS di sekolah. Saya akan melakukan evaluasi terhadap semua pihak yang terlibat, termasuk paguyuban siswa, komite sekolah, dan dewan guru, agar tidak ada praktik yang memberatkan orangtua,” tegas Ceceng saat ditemui di ruang kerjanya, Selasa (12/8/2025).

Langkah ini diambil sebagai bentuk komitmen sekolah dalam menciptakan lingkungan pendidikan yang transparan, adil, dan inklusif. Kepala SMP Negeri 2 Singaparna juga menyatakan, jika masih ada oknum yang menekan atau mewajibkan kepada orangtua siswa untuk membeli buku LKS dan seragam tersebut, maka dirinya akan melakukan tindakan tegas seperti memberikan peringatan dan langkah lainnya.

“Mulai besok akan saya rapatkan dan evaluasi semua pihak mulai dari ketua paguyuban, dewan guru ataupun komite sekolah terkait hal ini. Jika masih berlanjut dan ada yang mewajibkan kepada orangtua siswa untuk membeli buku LKS tersebut diluar sepengetahuan saya, maka saya akan mengambil langkah tegas, mungkin sementara peringatan dulu. Jika masih juga dilakukan, maka saya akan koordinasi dengan semua pihak terkait untuk menindaklanjuti nya”, tegas Ceceng.

Pemerintah Indonesia telah menetapkan larangan tegas terhadap praktik penjualan buku Lembar Kerja Siswa (LKS) di lingkungan sekolah. Larangan ini bukan sekadar imbauan, melainkan bagian dari kebijakan nasional untuk menjaga integritas pendidikan dan melindungi peserta didik dari praktik komersialisasi yang merugikan.

Dasar Hukum Larangan Penjualan LKS

Larangan ini diatur dalam beberapa regulasi resmi yang diantaranya sebagai berikut :

1. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 17 Tahun 2010 Pasal 181a Menyatakan bahwa pendidik dan tenaga kependidikan dilarang menjual buku pelajaran, LKS, bahan ajar, dan seragam kepada siswa. Tujuannya adalah mencegah konflik kepentingan dan menjaga profesionalisme tenaga pendidik.

2. Permendikbud Nomor 75 Tahun 2020 Pasal 12a Melarang Komite Sekolah, baik secara individu maupun kolektif, untuk menjual buku pelajaran, bahan ajar, atau pakaian seragam di lingkungan sekolah.

3. UU Sistem Perbukuan Pasal 63 ayat (1) Menegaskan bahwa penerbit dilarang menjual buku teks pendamping secara langsung kepada satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan menengah.

Alasan dan Tujuan Larangan

Larangan ini lahir dari berbagai masalah yang muncul di lapangan seperti beberapa diantaranya yaitu, beban Finansial Orang Tua Harga LKS yang dijual di sekolah sering kali tidak transparan dan bisa sangat mahal. Orang tua merasa terpaksa membeli karena sebagian besar tugas diberikan melalui LKS. Kualitas Pendidikan yang Terancam Buku LKS yang dijual tidak selalu sesuai dengan kurikulum nasional. Ini berisiko mengganggu proses belajar dan menurunkan mutu pendidikan dan praktik bisnis yang tidak etis beberapa oknum pendidik atau pihak sekolah memanfaatkan penjualan LKS sebagai ladang keuntungan pribadi, yang jelas bertentangan dengan etika pendidikan.

Imbauan Pemerintah dan Solusi

Pemerintah telah menyediakan buku pelajaran gratis melalui dana BOS, sehingga tidak ada alasan bagi sekolah untuk menjual LKS sebagai bahan ajar tambahan. Masyarakat, khususnya orang tua siswa, diimbau untuk melaporkan praktik penjualan LKS yang masih terjadi di sekolah-sekolah.

Langkah ini sejalan dengan visi pendidikan nasional yang menitikberatkan pada akses pendidikan yang adil, transparan, dan bebas dari beban ekonomi tambahan. Pemerintah juga terus mengawasi implementasi regulasi ini agar dunia pendidikan tetap fokus pada peningkatan kualitas, bukan pada kegiatan komersial.  

Sumber: Chandra Foetra S.

Yusrizal 
Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)