FTBI SD Sumedang : Ketika Anak-Anak Menjadi Penjaga Obor Bahasa Ibu

Agus Sulanto
0

SUMEDANG MA,  Jumat (26/9/2025), aula SMK Muhammadiyah 1 Sumedang dipenuhi wajah-wajah mungil yang penuh semangat. Festival Tunas Bahasa Ibu (FTBI) tingkat SD se-Kabupaten Sumedang resmi dibuka, menjadi panggung bagi para juara dari 26 kecamatan. Mereka datang bukan hanya untuk bertanding, tetapi untuk menyalakan obor warisan budaya yang dititipkan leluhur.
Di atas podium, seorang siswa dengan suara bergetar membaca sajak. Di sudut lain, anak lain menyiapkan cerita carpon dengan mata yang berbinar. Setiap kalimat, setiap bait, dan setiap tawa yang tercipta dalam ajang ini, sesungguhnya adalah doa agar bahasa Sunda tidak tergerus zaman.
Ada delapan cabang lomba yang dipertandingkan: Ngadongeng (bercerita), Biantara (pidato), Maca Sajak (membaca puisi), Carpon (cerita pendek), Nembang Pupuh (menyanyikan pupuh), Maca jeung Nulis Aksara Sunda (membaca dan menulis aksara Sunda), serta Borangan/Ngabodor Sorangan (stand-up Sunda). Dari cabang-cabang inilah, juara terbaik akan mewakili Sumedang di tingkat Provinsi Jawa Barat.
Ketua K3S Kecamatan Tanjungmedar, Nandang Koswara, S.Pd, FTBI bukan hanya ajang lomba. “Kami bahagia melihat anak-anak berani tampil pakai bahasa Sunda. Rasanya seperti melihat warisan orang tua kita hidup kembali,” ungkap Asep GAM--sapaan Akrab Nandang Koswara yang setia mendampingi siswanya di ruang lomba.
Sementara, Ketua K3S Kabupaten Sumedang, Dede Yasin Jamahsari, S.Pd, menegaskan bahwa FTBI adalah ikhtiar kebudayaan.
“Intinya, FTBI adalah upaya merevitalisasi bahasa daerah. Kami ingin memastikan bahasa dan sastra Sunda tetap hidup, diucapkan, dan dicintai oleh generasi muda. Festival ini membangkitkan kebanggaan sekaligus mengajak anak-anak tampil sebagai penutur aktif bahasa ibu. Ini juga menjadi ruang apresiasi sekaligus evaluasi pembelajaran bahasa Sunda di sekolah,” ujarnya.
Di balik itu semua, terselip kegelisahan yang jarang diucapkan. Globalisasi kerap memaksa anak-anak lebih akrab dengan bahasa asing daripada bahasa ibunya sendiri. Perlahan, aksara Sunda hanya tinggal hiasan di dinding, pupuh hanya terdengar di acara adat, dan dongeng menjadi cerita tanpa pewaris.
"Karena itu, FTBI hadir bak oase. Ia menyirami tunas-tunas kecil yang tengah tumbuh, agar kelak tak tercerabut dari akarnya. Di setiap suara anak yang lantang menyanyikan pupuh, di setiap aksara Sunda yang ditulis dengan penuh hati-hati, tersimpan harapan, bahasa ibu tidak boleh mati," tandas Dede.
Sumedang hari itu seolah mengirim pesan ke dunia, bahwa menjaga bahasa Sunda adalah menjaga jantung kebudayaan bangsa. Dan anak-anaklah, dengan polos namun tulus, yang kini memikul obor itu.

(Edy ms).
Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)