Optimalisasi Peran Pengawas Ketenagakerjaan Solusi Mengatasi Status Quo Tindak Pidana Ketenagakerjaan

Agus Sulanto
0


~ Rio Budiman*

Metroaktual news com 
Peraturan pidana memiliki jangkauan yang jauh lebih luas daripada sekadar menangani insiden di ruang publik atau kejahatan konvensional seperti pencurian dan tindak kekerasan. Aturan ini juga meresap dan berlaku kuat di dalam lingkungan kerja, struktur korporasi, dan keseluruhan dunia usaha. Dalam ranah hubungan industrial, hukum pidana berfungsi sebagai instrumen vital untuk melindungi serta mengawasi, memastikan bahwa pemilik usaha tidak bertindak sewenang-wenang terhadap karyawannya. Sebaliknya, hal ini juga menjamin para pekerja melaksanakan tugas dan tanggung jawab mereka dengan integritas dan kejujuran.
Pelanggaran yang terjadi di tempat kerja sangat beragam dan banyak di antaranya dapat menyeret pelakunya ke ranah pertanggungjawaban pidana yang serius. Kasus-kasus seperti pemotongan atau penahanan upah tanpa dasar hukum yang jelas, pengabaian hak-hak dasar tenaga kerja, penyalahgunaan atau penggelapan aset perusahaan, pemalsuan dokumen penting, hingga kelalaian fatal dalam standar keselamatan dan kesehatan kerja (K3), adalah contoh nyata dari tindakan yang memiliki implikasi pidana.
Ambil contoh ketentuan dalam Pasal 185 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Secara eksplisit diatur bahwa pengusaha yang terbukti secara sengaja mengabaikan atau tidak menunaikan kewajiban pembayaran upah minimum dapat dikenakan sanksi berupa kurungan penjara. Ketentuan ini secara tegas memperlihatkan keseriusan negara dalam mengamankan hak-hak pekerja dari eksploitasi dan ketidakadilan.
Meskipun demikian, dalam realitas lapangan, banyak sekali kasus pelanggaran pidana ketenagakerjaan yang kandas dan tidak pernah mencapai proses peradilan formal (meja hijau). Fenomena ini dipengaruhi oleh beragam faktor yang kompleks. Seringkali, minimnya pengetahuan pekerja mengenai hak-hak hukum yang mereka miliki, rasa takut yang mendalam akan ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK), serta lemahnya intensitas pengawasan dari pihak instansi pemerintah yang berwenang menjadi penghambat utama.
Di sisi lain, komunitas bisnis dan pelaku usaha juga secara konsisten menuntut adanya kepastian hukum yang dapat diandalkan. Mereka khawatir jika setiap kesalahan atau kelalaian yang bersifat administratif langsung diperlakukan sebagai tindak pidana (kriminalisasi). Tuntutan ini penting agar iklim investasi dan usaha tetap kondusif tanpa dibayangi ketakutan yang tidak proporsional.
Menurut Penulis guna mencapai harmoni antara upaya perlindungan hukum yang maksimal bagi para pekerja dan jaminan kepastian hukum bagi para pengusaha adalah sebuah keharusan. Penegakan aturan pidana di sektor ketenagakerjaan wajib hukumnya untuk senantiasa berpegangan teguh pada prinsip-prinsip mendasar keadilan, proporsionalitas, dan nilai-nilai kemanusiaan.
Pemerintah perlu mengambil langkah konkret untuk memperkuat dan mengoptimalkan peran pengawas ketenagakerjaan. Selain itu, inisiatif edukasi hukum yang terstruktur bagi seluruh elemen, baik pekerja maupun pengusaha, sangatlah mendesak untuk dijalankan. Para penegak hukum, seperti penyidik dan jaksa, juga dituntut memiliki pemahaman yang komprehensif mengenai seluk-beluk dan kekhasan hubungan industrial. Tujuannya adalah agar tidak semua bentuk pelanggaran langsung diarahkan ke jalur pidana. Prioritas bisa diberikan pada upaya mediasi, dialog, atau penyelesaian melalui mekanisme administratif terlebih dahulu, dan jalur pidana menjadi ultimum remedium (jalan terakhir).
Pada hakikatnya, kehadiran hukum pidana di lingkungan kerja bukanlah bertujuan untuk menciptakan suasana ketakutan atau intimidasi. Sebaliknya, aturan ini dirancang untuk menjamin terwujudnya rasa keadilan yang merata serta keseimbangan yang esensial antara hak-hak yang harus diterima dan kewajiban-kewajiban yang harus dipenuhi. Dengan adanya pemahaman yang mendalam dan penegakan hukum yang dijalankan secara adil dan konsisten, dunia usaha akan berkembang lebih sehat, hak-hak pekerja akan terlindungi secara optimal, dan kepercayaan publik terhadap sistem hukum akan semakin kokoh dan kuat.

* Penulis adalah mahasiswa Fakultas Ilmu Hukum Universitas Darma Indonesia.

Red / khanafi 
Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)