Potret Perjuangan SD Islam Al-Furqon, dari Desa, untuk Masa Depan Bangsa

Agus Sulanto
0

Sumedang MA, (satu 2 Agustus 2025).Di pagi yang basah oleh embun, ketika kabut tipis masih menggantung di sela-sela perbukitan Rancakalong, terdengar suara riang anak-anak dari sebuah bangunan sederhana di Desa Sukahayu. Bukan suara gaduh, tapi denting tawa yang penuh semangat. Di sanalah, di sebuah sekolah bernama SD Islam Al-Furqon, mimpi-mimpi kecil sedang tumbuh—pelan, tapi pasti.

Bukan sekolah megah dengan fasilitas canggih. Tapi di balik dinding yang dibangun dari gotong royong, ada semangat besar yang tak bisa diukur dengan angka. Sekolah ini adalah rumah kedua bagi 220 siswa, dan mungkin, satu-satunya tempat mereka mengenal harapan.

Sekolah yang Tumbuh dari Iuran Cinta

Didirikan dengan sederhana, SD Islam Al-Furqon bukan hasil proyek pemerintah atau donatur besar. Ia tumbuh dari keringat para orang tua, dari lembar demi lembar rupiah yang disisihkan agar anak-anak mereka bisa mengenyam pendidikan yang lebih baik.

"Tak ada batu pertama yang diletakkan pejabat," kenang Asep Junaedi, kepala sekolah yang juga menjadi saksi dari lembar demi lembar perjuangan itu. "Yang ada hanya tekad—bahwa anak-anak di desa ini juga berhak bermimpi setinggi langit."

Bersama Apipudin, S.Pd, ketua Yayasan Pendidikan Islam Al-Furqon, mereka membangun bukan hanya bangunan fisik, tapi juga budaya belajar yang penuh makna: pendidikan yang tak sekadar mengejar angka, tapi juga akhlak dan karakter.

Dan dari sekolah kecil ini, lahirlah anak-anak yang tak gentar bersaing. Prestasi demi prestasi diraih. Mungkin tak masuk headline berita nasional, tapi setiap piala yang dibawa pulang adalah cahaya kecil bagi desa ini.

Ketika Semangat Harus Bertarung dengan Keterbatasan

Namun, semangat saja kadang tak cukup. Meja belajar yang mulai lapuk, perpustakaan yang hanya berisi buku-buku lama, hingga ruang kelas yang sempit jika hujan turun deras.

"Sejak berdiri hingga hari ini, kami belum pernah menerima bantuan dari pemerintah," ujar Asep pelan, matanya menatap jauh ke halaman tempat anak-anak berlari. “Kami tidak ingin menyalahkan siapa pun. Tapi izinkan kami berharap.”

Harapan itu sederhana: agar sekolah ini tak terus berjalan sendiri. Agar negara juga melihat—bahwa di pelosok Rancakalong ini, ada cahaya kecil yang pantas dijaga.

“Kami tidak meminta untuk kami,” ucap Asep, suaranya nyaris seperti bisikan. “Kami memohon untuk anak-anak ini… agar mereka belajar di tempat yang lebih layak, lebih nyaman. Karena mereka pantas mendapatkannya.”

Cahaya dari Pinggiran

Apa yang membuat sebuah sekolah besar? Bukan lantainya yang mengkilap, bukan pula bangunannya yang menjulang. Tapi hati orang-orang di dalamnya.

SD Islam Al-Furqon bukan hanya sekolah favorit di Desa Sukahayu. Ia adalah titik terang bagi banyak keluarga, simbol dari keteguhan, dan bukti bahwa dari desa kecil pun bisa tumbuh kebesaran—asal diberi kesempatan.

Anak-anak di sana terus datang setiap pagi. Dengan seragam yang kadang mulai pudar, sepatu yang mulai sempit, dan tas yang bertambah berat. Tapi mereka datang dengan mata yang bersinar, dan mimpi yang tak pernah padam.

Di tengah sunyi Rancakalong, sekolah ini menyemai cahaya. Dan mungkin, di suatu hari nanti, dari sinilah lahir pemimpin masa depan—yang pernah belajar tentang arti perjuangan dari sekolah kecil di pinggiran kota.

( Edy ms).
Tags

Posting Komentar

0Komentar

Posting Komentar (0)